Jakarta - Dari pantai Namlea, ibukota Kabupaten Buru, Desa Kayeli kelihatan hanya sebesar titik putih di seberang lautan. Malam hari, desa yang masuk Kecamatan Waeapo itu berubah jadi seperti seekor kunang-kunang. Sinarnya timbul tenggelam dipermainkan ombak, lantas hilang di kegelapan.
Namlea dan Kayeli berada dalam satu garis pantai yang melingkari Teluk Namlea. Jalan pintas tercepat menuju desa itu dari Namlea hanya menggunakan perahu, menyeberangi Teluk Namlea dengan jarak tempuh sekitar 45 menit. Dengan kendaraan darat, waktu tempuhnya bisa empat jam melalui daratan dan pegunungan di pedalaman.
Kayeli adalah kota yang hilang. Sebelum tahun 1919, Kayeli menjadi ibukota Pulau Buru, yang luasnya 11.117 km2, dan sekarang wilayahnya meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Buru, dan Kabupaten Buru Selatan dengan ibukotanya di Namrole. Kabupaten Buru Selatan berasal dari pemekaran Kabupaten Buru, berdasar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2008.
Kejayaan Kayeli sebagai pusat pemerintahan Belanda di Pulau Buru ditandai dengan berdirinya sebuah benteng yang dibangun VOC tahun 1785. Benteng setinggi 2,5 meter itu masih berdiri tegar meskipun ditumbuhi semak belukar, melingkari areal seluas hampir satu hektar. Benteng ini dahulu adalah pusat pemerintahan Belanda di Pulau Buru, di bawah administrasi Provinsi Amboina dengan salah satu gubernurnya yang terkenal yaitu Gouverneur Bernadus Van Pleuren.
Karena musibah banjir besar yang meluap di sungai Waepo di pedalaman pada awal abad 19, Kayeli hancur total. Pemerintah Belanda kemudian memindahkan ibukota Pulau Buru ke Namlea. Pemindahan ibukota secara resmi ini terjadi pada 31 Agustus 1919, bertepatan dengan hari ulang tahun ke 39 Ratu Wilhelmina, yang lahir 31 Agustus 1880. Ratu Wilhelmina meninggal tanggal 28 November 1962 pada umur 82 tahun.
Saat masih dijajah Belanda, Kayeli dan daerah-daerah sekitarnya di Pulau Buru berada di bawah kekuasaan raja-raja bermarga Wael, Hentihu, Bessy dan Warhangan. Raja Kayeli sendiri bermarga Wael. Setelah kemerdekaan, kekuasaan para raja hanya menyangkut tanah ulayat dan menjaga kebudayaan. Meski kekuasaannya sebatas masalah budaya, tetapi sampai sekarang keturunan raja masih dihormati dan diakui oleh masyarakat setempat, terutama masyarakat asli yang tinggal di pedalaman.
Mochamad Fuad Wael, 59 tahun, adalah keturunan raja bermarga Wael yang kini menjadi pemimpin adat. Masyarakat Kayeli dan Namlea memanggilnya Papa Raja. Ditemui di rumahnya di Desa Kayeli, Papa Raja mengakui bahwa posisinya kini hanya sebatas pemangku adat. "Sebagai pemangku adat, saya sering diminta untuk menyelesaikan masalah yang timbul di masyarakat. Kalau ada persoalan, kita coba dahulu menyelesaikannya secara adat. Kalau secara adat tidak selesai, baru kita bawa ke hukum negara. Persoalan yang sering muncul biasanya menyangkut sengketa tanah," kata Papa Raja, putra Raja Ishak Bin Mansyur Wael, hari Kamis (7/4/2011) di rumahnya di Kayeli.
Ratusan hektar tanah di Pulau Buru yang sekarang ditempati para transmigran dan para bekas tahanan politik, dahulu adalah tanah milik Raja Wael. "Tahun 1954 ayah saya menghibahkannya kepada pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno. Tapi tahun 1968 - 1969 pemerintah Indonesia menjadikannya tempat tahanan bagi mereka yang dituduh komunis," cerita Fuad Wael. Tanah-tanah di Pulau Buru sebagian tidak bersertifikat, karena masih banyak yang statusnya tanah ulayat.
Kayeli kini menjadi desa mati. Bekas-bekas kejayaannya hanya ditandai dengan situs benteng VOC, dan sebuah meriam kecil berkarat yang dipasang di depan pintu gerbang kampung. Moncong meriam peninggalan VOC itu mengarah ke pantai.
Masuk ke desa melalui pintu gerbang, hanya beberapa anak kecil nampak bermain kejar-kejaran. Di seluruh desa hanya ada sebuah warung kecil yang menjual kebutuhan sehar-hari. Itu pun dengan dagangan yang tidak terlalu lengkap. Beberapa wanita berkerumun di depan warung, inilah satu-satunya keramaian yang ada di desa Kayeli.
Bentaran biji coklat yang dijemur penduduk hampir memenuhi jalan kampung, nyaris tak mengganggu karena memang tak ada lalu lintas kecuali orang berjalan kaki. Jumlah sepeda motor di desa ini bisa dihitung dengan jari, sedang kendaraan roda empat tidak ada sama sekali. Mata pencarian penduduk Kayeli, selain nelayan juga berkebun coklat.
"Desa Kayeli memang belum merdeka," kata Kepala Desa Kayeli, Muhammad Wael. Mengapa? "Karena sejak jaman penjajahan sampai sekarang ini kami penduduk Kayeli belum pernah menikmati listrik PLN," jawab Muhammad. Berpenduduk 181 KK atau 801 jiwa, hanya beberapa rumah di antara 167 rumah di Kayeli yang memiliki genset untuk pembangkit listrik sendiri. "Dari dulu petugas PLN sudah sering datang menyurvei, mengukur dan mendata, tetapi tidak pernah ada realisasinya. Jadi kami pasrah saja, karena kami memang belum merdeka," kata Muhammad sambil tertawa.
Abdul Jabar Wailusu, anggota Komisi C DPRD Kabupaten Buru ditemui terpisah, mengaku sedih juga melihat penduduk Desa Kayeli yang masih dalam kegelapan. "Bukan cuma Kayeli yang belum dijamah listrik PLN, tapi juga desa-desa pesisir sekitarnya seperti Desa Pela, Keyit, Walapia, Masarete dan Desa Kaki Air. Tahun lalu Komisi C berkunjung ke Kementerian ESDM, dan masalah perlunya penerangan untuk desa-desa pesisir itu kami ajukan. Tapi sampai sekarang belum ada respon. Kami juga sudah ke PLN Provinsi Maluku, hasilnya sama saja. Jadi saya cukup memaklumi apabila banyak penduduk Kayeli yang mengaku mereka belum merdeka," kata Abdul Jabar Wailusu ditemui di Namplea hari Kamis (7/4/2011) malam.
Berdiri di pelabuhan Namlea pekan lalu sebelum tengah malam, Desa Kayeli sudah hilang dari pandangan mata. Kunang-kunang yang berasal dari listrik rumah penduduk bergenset, sudah dipadamkan. Kayeli, kota masa silam, hilang di kegelapan.
http://www.detiknews.com/read/2011/04/28/100931/1627296/10/kayeli-kota-yang-hilang