Selasa, 01 Maret 2011
Wajah Dunia Pada 2050 Tak Bisa Dikenali
Pertambahan penduduk yang lebih makmur dan bersaing untuk memperoleh sumber daya yang kian langka dapat membuat dunia "tak bisa dikenali" paling lambat pada 2050, demikian peringatan beberapa peneliti dalam konferensi utama ilmu pengetahuan di AS.
PBB telah meramalkan penduduk global akan mencapai tujuh miliar pada tahun ini, dan bertambah jadi sembilan miliar pada 2050. "Kebanyakan pertumbuhan justru terjadi di negara miskin, terutama di Afrika dan Asia Selatan," kata John Bongaarts dari organisasi nirlaba Population Council.
Untuk memberi makan semua mulut itu, "kita nantinya perlu menghasilkan sebanyak mungkin pangan dalam 40 tahun ke depan sebagaimana telah kita lakukan dalam 8.000 tahun belakangan", kata Jason Clay dari World Wildlife Fund dalam pertemuan tahunan tersebut yang diselenggarakan oleh American Association for the Advancement of Science (AAAS).
"Hingga 2050 takkan ada sisa planet yang bisa dikenali", jika kecenderungan saat ini berlanjut, kata Clay. Penduduk yang bertambah akan memparah masalah, seperti berkurangnya sumber daya, kata John Casterline, Direktur Initiative in Population Research di Ohio State University.
Namun penghasilan manusia juga diperkirakan akan naik selama 40 tahun ke depan --tiga kali lipat secara global dan jadi delapan kali lipat di negara berkembang. Kondisi itu justru menambah berat beban bagi pasokan makanan global.
Orang cenderung mendatangi rangkaian gerai makanan saat penghasilan mereka meningkat. Mereka mengkonsumsi makin banyak daging dibandingkan dengan ketika penghasilan mereka lebih sedikit, kata para ahli tersebut.
Diperlukan sebanyak 3,4 kilogram padi-padian untuk menghasilkan satu pon daging, dan sebanyak tiga sampai empat pon padi-padian untuk menghasilkan satu pon keju atau beberapa telur, kata para ahli itu.
"Makin banyak orang, makin banyak uang, makin banyak konsumsi, tapi planetnya tetap yang lama," kata Clay kepada AFP. Ia mendesak para ilmuwan dan pemerintah untuk mulai melakukan perubahan sekarang untuk menghasilkan makanan.
Sementara itu, ahli kependudukan menyerukan pendanaan lebih banyak buat program keluarga berencana guna membantu mengendalikan pertumbuhan jumlah manusia, terutama di negara berkembang.
"Selama 20 tahun, sangat sedikit penanaman modal di sektor keluarga berencana, tapi perhatian mulai balik lagi sekarang, sebagian gara-gara faktor lingkungan hidup seperti pemanasan global dan harga pangan," kata Bongaarts.
"Kami ingin meminimkan pertumbuhan penduduk, dan satu-satunya cara yang tersedia untuk melakukan itu ialah melalui program keluarga berencana yang lebih efektif," kata Casterline.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola pengendapan. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Akibat pemanasan global dan kebutuhan akan perut manusia sangat menekan spesies ikan besar di lautan. Penangkapan ikan secara berlebihan oleh manusia membuat makin sedikit ikan besar pemangsa yang berenang di berbagai samudra di dunia, kata beberapa ilmuwan.
"Penangkapan ikan secara berlebihan tentu saja telah berlangsung dan menimbulkan dampak 'ketika kucing tak ada, tikus berkeliaran' terhadap lautan kita," kata Villy Christensen, profesor di UBC Fisheries Centre.
Para peneliti itu juga mendapati lebih dari separuh (54 persen) kemerosotan populasi ikan pemangsa telah terjadi selama 40 tahun terakhir. Sebanyak 76 juta ton makanan laut komersial dilaporkan telah ditangkap pada 2006. Itu berarti "tujuh triliun hewan dibunuh dan dikonsumsi oleh kita atau ternak kita", kata ilmuwan UBC Reg Watson.
Watson mengatakan kegiatan penangkapan ikan telah berkembang selama beberapa dasawarsa belakangan, sehingga secara keseluruhan mencapai posisi 1,7 miliar watt, atau 22,6 juta tenaga kuda, di seluruh dunia tahun itu.